Napak Tilas di Lereng Ungaran: Sejarah Panjang Candi Gedong Songo, Tempat Para Dewa Bersemayam
Di lereng Gunung Ungaran yang diselimuti udara sejuk, tersebar sebuah kompleks percandian megah yang menjadi saksi bisu perjalanan peradaban di tanah Jawa. Dikenal sebagai Candi Gedong Songo, situs ini bukanlah sekadar tumpukan batu kuno, melainkan sebuah mahakarya arsitektur dan spiritual yang menyimpan sejarah panjang tentang keyakinan, kekuasaan, dan perpaduan budaya. Namanya, yang berarti “sembilan bangunan” dalam bahasa Jawa, mengundang misteri dan kekaguman, mengajak kita untuk menelusuri jejak masa lalunya yang gemilang.

Asal-Usul: Persembahan untuk Para Dewa dari Dinasti Sanjaya
Sejarah Candi Gedong Songo terentang kembali ke sekitar abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, pada periode awal Kerajaan Medang atau yang lebih dikenal sebagai Mataram Kuno. Para ahli sejarah dan arkeologi meyakini bahwa kompleks candi ini dibangun atas perintah dari raja-raja Dinasti Sanjaya, wangsa yang berkuasa dan menganut agama Hindu aliran Siwa. Hal ini menjadikan Gedong Songo sebagai salah satu kelompok candi Hindu tertua di Jawa, sezaman dengan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng.
Pemilihan lokasi di ketinggian lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut bukanlah tanpa alasan. Ini adalah manifestasi dari sebuah konsep kosmologi yang mendalam. Dalam kepercayaan Hindu kuno, gunung (acala) dianggap sebagai tempat suci, representasi dari Mahameru, gunung mitologis yang menjadi pusat alam semesta dan kediaman para dewa (kahyangan). Dengan membangun candi di lereng gunung, para penganutnya merasa lebih dekat dengan para dewa, menjadikan tempat ini sebagai axis mundi atau poros dunia, titik penghubung antara dunia manusia (bhur loka) dengan dunia para dewa (swah loka).
Lebih jauh, pembangunan candi di lokasi ini juga merupakan contoh cemerlang dari sinkretisme budaya. Jauh sebelum ajaran Hindu tiba, masyarakat lokal telah memuliakan gunung sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Pembangunan Candi Gedong Songo dengan demikian memadukan kepercayaan Hindu global dengan tradisi lokal yang telah mengakar kuat, menciptakan sebuah situs suci yang diterima dan dihormati oleh semua lapisan masyarakat pada masanya.
Penemuan Kembali dan Misteri Nama "Gedong Songo"
Setelah ratusan tahun terkubur dalam senyapnya waktu dan tertutup vegetasi lereng gunung, keberadaan kompleks candi ini pertama kali dilaporkan ke dunia modern pada tahun 1740 oleh seorang penjelajah bernama Loten. Namun, baru pada tahun 1804, Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur-Letnan Hindia Inggris, memerintahkan survei yang lebih sistematis. Dalam catatannya, Raffles menamai kompleks ini Gedong Pitu (Tujuh Bangunan), karena pada saat itu hanya tujuh kelompok bangunan candi yang berhasil ditemukan.
Nama tersebut bertahan selama lebih dari seabad. Hingga pada periode 1908-1911, seorang arkeolog Belanda bernama Van Stein Callenfels melakukan penelitian lebih lanjut. Penemuannya yang krusial berhasil mengidentifikasi dua bangunan candi tambahan, sehingga menggenapkan jumlahnya menjadi sembilan. Sejak saat itulah, nama kompleks ini berganti menjadi Gedong Songo, sesuai dengan jumlah bangunan yang ditemukan.
Meskipun secara harfiah berarti sembilan, saat ini pengunjung hanya dapat menyaksikan lima kompleks candi yang telah dipugar dan berdiri relatif utuh. Sisanya masih berupa reruntuhan. Namun, misteri angka sembilan ini diperkaya oleh mitos dan kepercayaan lokal yang menyebutkan adanya candi kesepuluh yang tak kasat mata, tersembunyi di puncak tertinggi dan paling terjal di kawasan kawah belerang, yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki “kelebihan” spiritual.


Arsitektur dan Fungsi Candi
Kompleks Candi Gedong Songo dibangun menggunakan batu andesit, batuan vulkanik yang banyak ditemukan di lereng gunung. Secara arsitektur, candi-candi ini menunjukkan ciri khas gaya Jawa Tengah Kuno yang sederhana namun anggun, dengan struktur yang terbagi menjadi tiga bagian: kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap (sirah). Setiap kelompok candi memiliki fungsi dan keunikannya sendiri sebagai tempat pemujaan.
- Candi Gedong I: Merupakan candi pertama yang ditemui setelah pintu masuk. Candi ini berdiri soliter dan di dalam biliknya terdapat sebuah yoni, simbol kesuburan yang biasanya berpasangan dengan lingga.
- Candi Gedong II: Berdiri lebih tinggi, candi ini masih dalam kondisi utuh dan memiliki sebuah candi perwara (pendamping) di depannya.
- Candi Gedong III: Kelompok ini terdiri dari tiga bangunan candi yang berjajar. Candi utamanya diapit oleh dua candi perwara. Di sini ditemukan arca-arca penting seperti Siwa Mahaguru, Durga, dan Ganesha (putra Siwa), yang menegaskan fungsi utamanya sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa dan manifestasinya.
- Candi Gedong IV & V: Terletak di lokasi yang lebih tinggi lagi, kelompok candi ini juga memiliki struktur serupa dengan candi induk dan candi perwara. Pemandangan dari lokasi Candi Gedong V, yang merupakan candi tertinggi, sungguh memukau dan memberikan perasaan seolah berada di puncak kahyangan.
Di antara Candi Gedong III dan IV, terdapat sebuah kepundan belerang dengan sumber air panas. Keberadaan sumber air panas ini juga melahirkan legenda lokal yang mengaitkannya dengan kisah Ramayana, di mana Hanoman disebut menimbun Dasamuka di bawah Gunung Ungaran, dan rintihan raksasa tersebut menjadi sumber air panas belerang.
Pemugaran dan status saat ini
Upaya pelestarian Candi Gedong Songo telah melalui berbagai tahap. Pemugaran pertama dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1928-1929. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melalui Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah melanjutkan upaya pemugaran besar-besaran antara tahun 1972 hingga 1982 untuk mengembalikan sebagian dari keagungan masa lalunya.
Kini, Candi Gedong Songo tidak hanya berfungsi sebagai situs suci bagi umat Hindu yang masih melangsungkan ritual keagamaan di hari-hari besar, tetapi juga telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Nasional. Ia berdiri sebagai jendela menuju masa lalu, menawarkan pelajaran tentang sejarah, keyakinan, dan kehebatan teknologi arsitektur nenek moyang bangsa Indonesia, sambil terus memancarkan pesona spiritualnya dari ketinggian lereng Gunung Ungaran.
